Hukum dan Batasan Talkin (Bag. 1)

Sedang Trending 1 tahun yang lalu

Menalkin adalah menuntun seseorang nan bakal meninggal bumi untuk mengucapkan kalimat syahadat laa ilaaha illallah. Dalam tulisan singkat ini, kami bakal menjelaskan tentang hukum-hukum nan mengenai dengan talkin.

Pengertian talkin

Talkin adalah seseorang menuntun dan meminta orang nan bakal meninggal bumi untuk mengucapkan kalimat syahadat laa ilaaha illallah. Caranya, orang nan sedang berada di dekat orang nan nyaris meninggal itu menyebut kalimat laa ilaaha illallah dengan bunyi lirih, namun tetap bisa didengar. Sehingga orang nan nyaris meninggal bumi tersebut menjadi ingat dan kemudian mengikuti dengan mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah.

Hal ini jika orang nan nyaris meninggal tersebut tersebut tetap bisa untuk mengucapkannya. Apabila orang nan nyaris meninggal tersebut sudah sangat lemah (parah) dan tidak bisa lagi mengucapkan, orang nan ada di sisinya cukup mengucapkan kalimat syahadat tersebut di sampingnya, sehingga dia bisa mendengar ucapan kalimat laa ilaaha illallah, dan perihal itu sudah mencukupi.

Sehingga, talkin itu bukanlah dengan mengucapkan kalimat syahadat berkali-kali di sisi orang nan nyaris meninggal dunia. Akan tetapi, maksud dan tujuan utama dari talkin adalah agar orang nan nyaris meninggal bumi itu sendiri nan mengucapkan kalimat syahadat.

Hukum menalkin

Terkait norma talkin, terdapat sabda nan diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ

“Tuntunlah orang nan sedang di penghujung ajalnya (untuk mengatakan) laa ilaaha illallah.” (HR. Muslim no. 916, 917, Abu Dawud no. 3117, At-Tirmidzi no. 976, An-Nasa’i no. 1826, dan Ibnu Majah no. 1445)

Hadis tersebut menunjukkan disyariatkannya talkin untuk orang nan nyaris meninggal dunia. Yang dimaksud dengan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَقِّنُوا

adalah “Ingatkanlah (tuntunlah) untuk mengucapkan laa ilaaha illallah.”

Jumhur (mayoritas) ustadz memaknai kalimat perintah dalam sabda ini sebagai perintah rekomendasi (sunah), sebagaimana nan disebutkan oleh An-Nawawi rahimahullah dan selain beliau. Akan tetapi, zahir sabda menunjukkan norma wajib, lantaran inilah norma asal dari adanya perintah nan terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan tidak ada dalil nan memalingkannya dari norma wajib. Oleh lantaran itu, Asy-Syaukani rahimahullah berkata setelah menyebut pendapat ustadz nan mengatakan sunah, “Akan tetapi hendaknya dipertimbangkan apa indikasi nan memalingkan dari norma wajib?” (Nailul Authar, 4: 23)

Kapan menalkin?

Talkin disyariatkan ketika seseorang itu dekat dengan kematian, atau ketika seseorang dalam kondisi sakit parah nan diyakini nyaris meninggal dunia, alias disebut juga ketika dalam kondisi ikhtizhar.

Yang dimaksud dengan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَوْتَاكُمْ

adalah orang nan hampir meninggal dunia, bukan orang nan sudah meninggal dunia. Adapun menalkin orang setelah meninggal dunia, apalagi setelah orang tersebut dimakamkan, perbuatan semacam ini tidak mempunyai tuntunan dari syariat.

Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan ‘mautaakum’ adalah orang nan yang nyaris (akan) meninggal dunia. Adapun mayit (orang nan sudah meninggal dunia), maka tidak perlu ditalkin setelah meninggal dunia. Hal ini lantaran dia tidak bakal mendapatkan faedah dari perbuatan tersebut. Sehingga maksud dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ

adalah “tuntunlah orang nan bakal meninggal bumi untuk mengucapkan kalimat ini (yaitu kalimat laa ilaaha illallah, pent.)” (Tashiilul Ilmaam, 3: 15)

Hikmah disyariatkannya talkin

Hikmah dari talkin adalah agar kalimat tauhid laa ilaaha illallah adalah kalimat terakhir nan diucapkan oleh seseorang nan hendak meninggal dunia, sehingga diharapkan masuk surga Allah Ta’ala. Zahir sabda tersebut menunjukkan cukup dengan mengucapkan “laa ilaaha illallah” saja, tanpa syahadat Muhammad rasulullah. Hal ini lantaran orang nan meyakini kewenangan uluhiyyah Allah Ta’ala (hak Allah Ta’ala sebagai satu-satunya Zat nan berkuasa diibadahi), tentu dia bakal meyakini kerasulan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى رَجُلٍ مِنْ بَنِي النَّجَّارِ يَعُودُهُ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” يَا خَالُ، قُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ” فَقَالَ: أَوَ خَالٌ أَنَا أَوْ عَمٌّ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” لَا بَلْ خَالٌ “، فَقَالَ لَهُ: قُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ، قَالَ  : خَيْرٌ لِي؟ قَالَ: ” نَعَمْ “

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjenguk seseorang dari bani An-Najar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, ‘Wahai paman, ucapkanlah kalimat laa ilaaha illallah.’ Orang tersebut berkata, ‘Apakah saya om dari pihak ayah ataukah om dari pihak ibu?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Paman dari pihak ibu.’ Rasulullah berbicara lagi, ‘Ucapkanlah kalimat laa ilaaha illa huwa (tidak ada sesembahan nan berkuasa disembah selain Dia).’ Orang tersebut berkata, ‘Apakah ucapan itu baik bagiku?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Iya.’” (HR. Ahmad no. 12543. Syekh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad sabda ini sahih sesuai syarat Muslim)

Batasan talkin

Talkin cukup dilakukan satu kali sehingga tujuan dari talkin tersebut sudah tercapai. Jika orang nan nyaris meninggal bumi tersebut sudah mengucapkan laa ilaaha illallah, tidak perlu diminta alias dituntun untuk mengucapkannya berulang-ulang. Hal ini agar orang nan sedang dalam kondisi nyaris meninggal bumi tersebut tidak sampai menjadi jenuh hingga kemudian mengatakan, “Aku tidak mau mengatakannya” alias mengucapkan kalimat nan lain selain kalimat syahadat.

Oleh lantaran itu, talkin cukup dilakukan sekali lantaran saat itu memang kondisinya sangat susah dan berat. Apabila sudah diucapkan, orang-orang nan ada di sekitarnya hendaknya tak bersuara dan tidak mengajaknya berbincang agar kalimat syahadat tersebut menjadi kalimat terakhir nan dia ucapkan.

Jika setelah mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah, orang tersebut mengucapkan kalimat-kalimat lainnya, maka hendaknya diulang talkinnya sekali lagi. Hal ini agar nan menjadi kalimat terakhir nan diucapkan orang nan nyaris meninggal tersebut adalah tetap kalimat syahadat laa ilaaha illallah.

Sebagaimana sebuah sabda nan diriwayatkan dari sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Siapa saja nan kalimat terahir nan dia ucapkan adalah laa ilaaha illallah, maka dia masuk surga.” (HR. Abu Dawud no. 3116, Ahmad no. 22034, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Praktek salaf dari kisah Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullah

Terdapat kisah bagaimanakah ustadz salaf menalkin sahabatnya nan nyaris meninggal bumi dengan mengingatkan sabda talkin. Kisah ini diceritakan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah, dalam kitab Tarikh Baghdad (10: 335). Berikut ini kisah tersebut.

Abu Ja’far At-Tusturi mengatakan, ”Kami pernah mendatangi Abu Zur’ah Ar-Razi nan sedang berada dalam keadaan sakaratul maut di Masyahron. Di sisi Abu Zur’ah terdapat Abu Hatim, Muhammad bin Muslim, Al-Munzir bin Syadzan, dan sekumpulan ustadz lainnya. Mereka mau menalkinkan Abu Zur’ah dengan mengajari sabda talkin sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

“Talkinkanlah (tuntunkanlah) orang nan bakal meninggal di antara kalian dengan referensi ’laa ilaha illallah’.”

Namun, mereka malu dan takut kepada Abu Zur’ah untuk menalkinkannya. Lalu, mereka berkata, ”Mari kita menyebut hadisnya (dengan sanad [jalur periwayatannya]).” Muhammad bin Muslim lampau mengatakan, ”Adh-Dhohak bin Makhlad telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata), dari Shalih …”. Kemudian, Muhammad tidak meneruskannya. Abu Hatim kemudian mengatakan, ”Bundar telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), Abu ’Ashim telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata), dari Shalih …”. Lalu, Abu Hatim juga tidak meneruskannya dan mereka semua terdiam.

Kemudian, Abu Zur’ah nan sedang berada dalam sakaratul maut mengatakan, ”Bundar telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), Abu ’Ashim telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata), dari Shalih bin Abu ’Arib, (beliau berkata), dari Katsir bin Murroh Al-Hadhramiy, (beliau berkata), dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ’anhu, (beliau berkata) Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ

Setelah itu, Abu Zur’ah rahimahullah langsung meninggal dunia. Abu Zur’ah meninggal pada akhir bulan Dzulhijjah tahun 264 H.

Marilah kita merenungkan kisah Abu Zur’ah rahimahullah di atas. Beliau menutup akhir nafasnya dengan kalimat syahadat laa ilaha illallah. Bahkan, beliau rahimahullah mengucapkan kalimat tersebut sembari membawakan sanad  dan matan hadisnya. Hal ini tentu sangat berbeda dengan kebanyakan orang nan berada dalam sakaratul maut.

Apakah talkin disyariatkan untuk orang kafir?

Talkin juga disyariatkan meskipun orang nan nyaris meninggal bumi tersebut adalah orang kafir. Hal ini sebagaimana dalam kisah meninggalnya Abu Thalib berikut ini.

لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ ، وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِى أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – لأَبِى طَالِبٍ: يَا عَمِّ ، قُلْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ . فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِى أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ ، أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ ، وَيَعُودَانِ بِتِلْكَ الْمَقَالَةِ ، حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ .

“Ketika Abu Thalib hendak meninggal dunia, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatanginya. Di sisi Abu Thalib ada Abu Jahal bin Hisyam dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah bin Mughirah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Thalib, ’Wahai pamanku! Katakanlah ‘laa ilaaha illallah’, suatu kalimat nan dapat saya jadikan sebagai hujjah (argumentasi) untuk membelamu di sisi Allah. Maka, Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah berkata, ’Apakah Engkau membenci kepercayaan Abdul Muthallib?’ Maka Rasulullah terus-menerus mengulang perkataannya tersebut, sampai Abu Thalib akhirnya tidak mau mengucapkannya. Dia tetap berada di atas kepercayaan Abdul Muthallib dan enggan untuk mengucapkan ‘laa ilaaha illallah’.” (HR. Bukhari no. 1360 dan Muslim no. 141)

Juga sebagaimana kisah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjenguk seorang anak Yahudi. Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

كَانَ غُلاَمٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ، فَقَالَ لَهُ: أَسْلِمْ ، فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ: أَطِعْ أَبَا القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَسْلَمَ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ: الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ

“Ada seorang anak mini Yahudi nan bekerja membantu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sedang sakit. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjenguknya dan beliau duduk di sisi kepalanya. Lalu, bersabda, “Masuklah Islam.” Anak mini itu memandang kepada bapaknya nan berada di dekatnya. Lalu bapaknya berkata, “Taatilah Abu Al-Qasim (Muhammad) shallallahu ‘alaihi wasallam.” Maka, anak mini itu pun masuk Islam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar sembari bersabda, “Segala puji bagi Allah nan telah menyelamatkan anak itu dari neraka.” (HR. Bukhari no. 1356)

Dalam riwayat Ahmad disebutkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

يَا فُلَانُ، قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ

“Wahai fulan, ucapkanlah laa ilaaha illallah.” (HR. Ahmad no. 12792)

Syekh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah menjelaskan, “Maka sabda tersebut menunjukkan bahwa orang kafir itu boleh dijenguk, dan diajak untuk masuk Islam. Seorang muslim boleh menjenguk orang kafir nan sedang sakit dan mengajaknya untuk masuk Islam. Dia membujuk orang kafir tersebut untuk masuk Islam, bisa jadi dia menerima dan meninggal dalam keadaan muslim. Sehingga talkinkanlah laa ilaaha illallah.”  (Tashiilul Ilmaam, 3: 15-16)

[Bersambung]